Di lantai dasar suatu gedung perkantoran bersama, di suatu kota cukup besar, terdapat sebuah kantin karyawan yang menyediakan kopi kelas café. Banyak pekerja lembur dari berbagai kantor yang doyan menyambangi kantin yang hanya buka dari sore hingga malam ini. Selain rasa kopi yang enak, kantin ini memiliki keunikan tersediri, para pengunjung bebas memilih cangkir kopi yang ingin mereka pakai. Dengan agak sedikit gila, pemilik kantin ini percaya bahwa kenikmatan minum kopi tak hanya berasal dari rasa dan aromanya, tapi juga dari cangkir. Bentuk cangkir yang dapat ditangkap secara visual akan memberikan pengalaman tersendiri dalam menikmatinya. ‘Kamu bisa memilih bentuk, gambar, warna cangkir yang sesuai dengan mood-mu,’ begitu kata Elie, sang pemilik kantin, seorang wanita berumur tiga puluhan yang masih betah melajang.
Sekitar pukul lima sore, seorang perempuan yang mengenakan blezer apricot dan celana jins hitam memasuki kantin. Tanpa banyak menoleh, kecuali kepada Elie dengan isyarat minta dilayani, dia langsung menuju sebuah meja dengan dua kursi berhadapan yang terletak paling pojok dan bersebelahan dengan dinding kaca yang menghadap jalan raya. Elie kemudian memberikan kode pada Sisy, hanya dengan lirikan mata Elie ke arah perempuan itu, Sisy langsung mengangguk dan berjalan menghampiri wanita yang nampak duduk dengan pasrah mengaadap ke luar jendela.
“Sore, Mbak. Mau pesan apa?”
“Cappucinno satu dan brownies ya.”
“Ada lagi?”
Perempuan itu nampak ragu, dia mengusap-ngusap jempolnya ke telunjuk tangan kirinya, seolah-olah dengan begitu dia bisa mendapat jawaban dari pertanyaan singkat Sisy. “Java Latte?” katanya kemudian dengan masih agak ragu.
“Java Latte, Ok. Ada lagi?”
Dia hanya menggeleng.
“Gelas kopinya?”
“Seperti biasa, Elie tahu kok. Kalo yang Java Latte, terserah. Kurasa Elie juga sudah tau.”
“Oke,” Sisy langsung berlalu meninggalkan perempuan itu. Sisy merasa bahwa akan lebih baik jika dia meninggalkan perempuan itu seorang diri secepatnya. Dia yang biasanya memesan dengan cerewet, justru tidak secerewet biasanya kali ini, pertanda bahwa perempuan itu tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Sisy menyerahkan secarik kertas catatan pesanan perempuan tadi kepada Elie yang berdiri dari balik meja ramuan kopinya. Elie melirik kertas itu sepintas, hanya untuk meyakini bahwa pesanan perempuan itu tak ubah dari biasanya.
“San, Cappucinno cangkir Elona, Java Latte cangkir Andreas, dan sepotong Brownies coklat,” teriak Elie dengan suara setara tiga oktaf pada Sandra, asisten penyaji kopi yang tak lain adik Elie sendiri.
Sepuluh menit kemudian, pesanan sudah diantarkan ke meja perempuan tadi. Cappucino di dalam cangkir berwarna merah muda dengan gambar hati kecil-kecil yang bertebaran, bernama Elona diletakkan berhadapan dengan Java Latte dalam sebuah cangkir berwarna hitam dengan gambar kunci G, bernama Andreas, dengan brownies sebagai penengahnya. Perempuan itu tak langsung menyentuh salah satu dari mereka bertiga, hanya memandangi kedua cangkir kopi itu secara bergantian.
“Hai, Andreas, coba tebak, apa laki-laki gila itu akan datang sore ini?” Tanpa ada yang tahu di dunia ini, Elona berbicara pada Andreas.
“Entahlah, aku tidak tahu siapa yang kau bicarakan. Aku, kan, cangkir baru di kantin ini. Apa aku pernah dipakai olehnya?”
Elona diam dan berpikir keras, mengingat-ingat siapa saja cangkir pasangannya setiap kali disungguhkan untuk perempuan ini.
“Seingatku belum pernah. Tapi kembaranmu Pelipe yang biasa dihidangkan untuk laki-laki itu. Sayang Pelipe sudah pecah, padahal kami berdua sedang mencoba mencocokkan kedua manusia ini,” gerutu Elona yang menyayangkan pecahnya Pelipe sehari sebelum Andreas datang ke kantin ini.
Sebut saja dunia ini gila, semua cangkir kopi di kantin ini saling berbicara satu sama lain. Mereka saling berinteraksi untuk bertukar cerita, tanpa ada seorang manusia pun yang tahu, tidak terkecuali Elie, walaupun dia kadang termenung setiap kali menatapi cangkir-cangkirnya karena merasa seolah-olah cangkir-cangkir tersebut mempunyai jiwa. Oleh semua cangkir, Elie dianggap laksana Ratu. Elie, dengan dia sadari atau tidak, sering berbica kepada cangkir-cangkirnya, seperti berpesan ‘jadilah cangkir yang manis, buat pelanggan-pelangganku menikmati setiap hirupan kopinya.’ Dan sebagai rakyat yang senang dipimpin oleh Ratu seperti Elie, semua cangkir mematuhi segala perintahnya.
“Memangnya ada apa dengan manusia yang ini?” tanya Andreas ingin tahu.
“Heh, kau ini masih kecil, masih bau kencur, ingin tahu saja,” jawab Elona ketus.
“Dasar kau, nenek tua keriput. Siapa tahu aku bisa menggantikan Pelipe untuk membantumu melancarkan rencanamu dulu.”
“Beraninya kau bilang aku keriput. Aku ini nampak tua dan kusam karena aku sudah menjadi cangkir favorit di tempat ini.”
“Berkatalah sesuka hatimu. Jadi, perempuan ini kenapa?”
Elona diam sebentar saat perempuan itu mengangkatnya dan mengirup kopi untuk pertama kali. Hanya seteguk, kemudian langsung meletakkannya kembali ke meja.
“Dia sedang bersedih, dia tidak menikmati kopi ku. Oh, aku dapat merasakan itu. Biasanya dia bisa meminum kopi dalam beberapa tegukan saat hirupan pertama. Dia ini perempuan yang malang Andreas.”
“Ya ya ya, wajahnya seseram vampir yang putus asa.”
“Tau apa kamu? Dia begini karena laki-laki itu. Dia hanya sedang tidak beruntung. Dengarkan aku agar kau tahu ceritanya. Seingatku, beberapa bulan yang lalu dia sering datang ke kantin ini dengan seorang pria. Pria itu tinggi, penampilannya rapi, wangi, tapi dia sangat cerewet. Mereka beberapa kali datang dan minum kopi bersama. Perempuan ini selalu memesan Cappucino, dan gelas yang selalu dipilihnya adalah aku. Sedangkan pria itu tidak selalu memesan kopi yang sama. Tapi dia sangat senang minum dengan cangkir Pelipe, jadi aku dan Pelipe selalu berpasangan. Pria itu jauh lebih cerewet dari perempuan ini. Saat-saat seperti itu dulu, wajah perempuan ini jauh lebih bahagia dari yang kau lihat sekarang.”
“Memangnya kenapa?”
“Are you blind or stupid? Dasar kau memang anak kecil. Perempuan ini suka dengan pria itu. Tapi dia sedang tidak beruntung. Padahal perempuan ini selalu menunggu pria itu dengan sabar. Setiap kali datang ke kantin ini, pasti pria itu yang datang terlambat. Anehnya justru pria itulah yang paling banyak bicara, dan perempuan sendu ini selalu siap sedia mendengarkan cerita pria itu. Wajahnya selalu berseri-seri ketika bersama pria itu. Oh, mengapa dunia manusia bisa sekejam itu.”
“Tapi kenapa perempuan ini berwajah muram seperti ini sekarang, Bundo?”
“Heh, jangan panggil aku Bundo. Aku tak setua itu. Pria itu, sudah ada yang punya. Aku dan Pelipe pernah mendengar dia telpon-telponan dengan seseorang yang dia panggil sayang, dan dia berbicara dengan penuh senyum. Kamu tau, kejadian itu terjadi dipertemuan kedua mereka. Oh, andai kau lihat ekspresi perempuan ini kala itu, wajahnya HAMPA. Namun anehnya setelah kejadian itu mereka masih tetap bersama. Aku heran, aku pikir mereka tidak akan datang bersama lagi. Oh, sampai kapan perempuan ini akan bertahan? Tapi kenapa sampai sekarang pria itu belum datang ya?”
“Kenapa dia bisa suka dengan pria itu kalau dia sudah ada yang punya?”
“Cinta itu datang tanpa bisa memilih. Kalau rasa itu hanya sekedar suka, maka tidak akan bertahan selama ini. Kadang dalam hidup ini, manusia masih bisa menyandarkan harapannya pada keajaiban. Oh, entah sampai kapan perempuan ini akan menunggu?”
“Aku sudah hampir dingin,” gerutu Andreas. “Dan sepertinya aku tidak akan diminum.”
Kedua gelas itu diam. Elona menanti perempuan itu untuk mengangkatnya lagi, meminum beberapa tegukan sampai akhirnya habis atau langsung minum sekaligus sampai tetes terakhir.
“Apa yang bisa kita lakukan, Elona?” tanya Andreas memecah kebisuan diantara mereka berdua.
“Kita ini hanyalah cangkir kopi. Kita hanya bertugas menampung kopi. Kita tidak mempunyai kemapuan untuk membantu takdir seseorang, Andreas. Andai Tuhan memberi pada kita karunia untuk mempengaruhi perasaan orang lain, mungkin kita bisa berkonspirasi untuk menyampaikan rasa suka perempuan ini pada pria itu.”
“Lalu apa rencanamu dan Pelipe dulu?”
“Kami hanya akan membantunya sebatas peran kami sebagai cangkir kopi yang baik. Sebagai cangkir, berikanlah rasa cinta kita pada orang yang meminum kopi dari kita, agar energi positif itu tertular pada mereka.”
“Hey, siapa yang memasang lagu ini dalam plyalist?” Jerit Samantha, cangkir kopi berwarna hijau polos dari meja sebelah. “Customer-ku ini sedang sedih, dia baru saja putus dengan pacarnya!!”
Sayup-sayup terdengar intro lagu orang ke-3 dari HiVi. Elona dan Andreas terdiam. Mereka mengobrol tanpa memperhatikan lagu yang sedang diputar. Di detik terakhir saat lagu tersebut usai, perempuan itu mengangkat Elona, kemudian menghabiskan Cappucinonya dalam sekali tegukan. Dia lalu berdiri dan meninggalkan Andreas serta brownies pesannya tanpa menyentuh mereka sedikitpun. Lantas dia pergi meninggalkan kantin seorang diri, seperti hal nya ketika dia datang, sendirian.
*12/9/2012 dalam #30HariLagukuBercerita @poscinta @_metharia_