Keluarga Impian Pandu
Wangi campuran
rempah-rempah berhembus segar mengelilingi dapur. Nisa dengan
sangat hati-hati memasukkan irisan kentang dan wortel ke dalam panci yang
berisi beberapa potong ayam dengan kuah yang mendidih, sambil sesekali melirik
catatan resep Soto Banjar yang dia tempelkan di dinding dapur. Dia sudah tidak
terlalu ingat bagaimana rasa dan resep asli masakan yang sedang dia masak
sekarang. Seingatnya, rasa itu terakhir kali menempel di lidahnya sekitar empat
tahun yang lalu, Ramadan terakhir di kota kelahirannya. Ingatan tentang rasa
itu kalah bersaing dengan Soto Surabaya dan Betawi yang sering dia beli di
warung soto di seberang rumah. Hari ini pertama kalinya dia mencoba sendiri membuat
Soto Banjar untuk lauk berbuka puasa nanti.
”Mama, nanti di
Banjar banyak Soto Banjar?” tanya Pandu, anak laki-laki Nisa yang baru saja
masuk TK. Dia sedang duduk tengkurap di lantai dapur sambil menggambar sebuah
panci dan kompor gas yang tidak terlalu jelas bentuknya di atas kertas buku
gambar.
”Iya, sayang.”
”Mama, yang bikin
sotonya nenek Pandu sama kayak nenek Dwi yang jualan di muka rumah?”
Nisa tak menjawab
apa-apa. Dia sudah selesai dengan pekerjaan mencampur semua bahan dan bumbu ke
dalam panci. Didekatinya Pandu yang masih asik menggambar. Kali ini sudah ada
sesosok perempuan berambut panjang dengan dua titik mata dan garis bibir
melengkung tersenyum di dekat gambar panci dan kompor.
”Mama, ini mama
lagi masak SO-TO-BAN-JAAR. Hahaha,” Pandu mengeja nama masakan ibunya sambil
tertawa. Mulut kecilnya sengaja ia buat membulat. Dia tertawa sendiri, merasa
jenaka akan sikapnya tersebut.
”Gambar Pandu
mana?”
Pertanyaan
singkat dari Nisa langsung mengomando Pandu menggambar sosok yang lebih pendek
dengan rambut keriting tepat di sebelah gambar Nisa.
”Ini gambar
Pandu,” dia diam sejenak untuk menyelesaikan gambar sepatu di kaki ’gambar Pandu’.
”Sekarang Pandu mau gambar Papa.”
Tangan kecil yang
menggenggam erat pensil itu kembali menggoreskan imajinasi nya. Tak lama
kemudian sosok Papa hadir disebelah gambar Pandu, lengkap dengan kemeja lengan
pendek dan celana panjang seperti yang biasa dia kenakan ketika bekerja.
”Pandu, nanti
Papa nggak ikut kita pulang ke Banjar.”
”Kenapa Papa
ditinggal, Ma?”
”Papa jaga rumah.
Nanti rumah kita kosong, siapa yang jaga rumah kalau papa juga ikut?”
”Ada Pak Hansip
Parmin, Ma, yang jagain semua rumah di komplek ini.”
Nisa hanya bisa
tersenyum mendengar celotehan Pandu, kemudian dia refleks mencium pipi tembem
yang selalu tampak merah itu. Setelah dicium sekali, Pandu mengelak ketika Nisa
nampak ingin mencium pipi nya untuk yang kedua kali. Wajahnya seketika berubah
menjadi cemberut yang dibuat-buat, tapi masih saja menggemaskan dengan mulut
nya yang manyun. Dia tak pernah tahu gemuruh apa yang mengiringi kehidupannya
bahkan sebelum dia lahir.
”Kalau Papa nggak
ikut, nggak seru. Nggak ada yang gendong Pandu.”
”Tapi, kan, di sana
ada kakek dan nenek. Ada om, tante, dan sepupu Pandu juga banyak.”
”Seberapa banyak?
Ba-nyak?” ucap Pandu kembali antusias.
Tidak sulit bagi
Nisa membangkitkan kembali semangat Pandu. Jagoan kecilnya ini hanya perlu
dicarikan penggantinya saja jika dia ’kehilangan sesuatu’.
”Mama, Pandu mau menggambar
kakek Pandu, nenek Pandu, om Pandu, tante Pandu, sepupu-sepupu Pan-Du.” Tangan
kecil yang tak pernah diam ketika melihat pensil dan alat tulis lainnya itu
kembali siap menari di atas kertas gambar. ”Tapi Pandu belum pernah lihat
mereka.” Pandu mendelik menghadap Nisa dengan mata yang melotot penuh tanya.
*****
Dua hari sebelum
lebaran, Nisa dan Pandu berangkat ke Banjarmasin. Pesawat yang ditumpangi Nisa
dan Pandu mendarat dengan mulus di bandara Syamsudin Noor. Pandu sangat
menyukai pengalaman pertamanya naik pesawat. Sepanjang penerbangan dia tak
henti-henti mengomentari apa saja yang dia lihat. Di sana, sudah ada yang siap
menjemput Nisa dan Pandu, Rahman, kakak tertua Nisa. Rahman membawa dua orang
anak perempuannya. Anak pertama berambut panjang, diikat satu kebelakang,
bernama Rika. Anak kedua nampak lebih muda dari pada Rika, berambut panjang
namun dibiarkan tergerai, bernama Rita. Seperti biasa, Pandu bisa dengan mudah
akrab dengan kedua sepupunya yang baru dia kenal itu.
Sekitar satu jam
perjalanan dari bandara, mereka sudah tiba di rumah orang tua Nisa. Sebuah
rumah berdinding kayu, bercat biru, berdiri kokoh membelakangi sungai. Rumah itu sama sekali tak mengalami perubahan
sejak terakhir kali Nisa berada di sana. Dari dalam rumah keluar seorang pria
tua yang mengenakan sarung dan baju koko. Nisa yang melihat pria itu
langsungmenghamburkan pelukannya.
”Abah,” ucap Nisa
pelan. Mengekor dibelakangnnya Pandu yang juga turut memeluk abah walau hanya
sebatas pinggangnya saja. Sedangkan abah hanya membalas pelukan Nisa, tanpa ada
kata yang dia ucapkan. Rasa rindu yang mereka rasakan tertelan oleh rasa
bahagia atas datangnya hari itu.
Abah kemudian
merangkul Pandu dan menggiringnya masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu ternyata
sudah berkumpul seluruh anggota keluarga yang lain. Ada Raisa, istri Rahman,
dan Mahmud, si bungsu yang kini memiliki postur tubuh paling tinggi di antara
mereka. Terduduk di sofa tamu, mama. Dia hanya diam, menatap ke arah Nisa
dengan tatapan kosong. Nisa segera bersimpuh dihadapan mamanya dan mencium
kedua telapak tangannya. Tak ada respon dari mama. Nisa mendongak, ditatapnya
wajah mama dengan penuh penyesalan.
’Mama ikam kana penyakit stroke, wayahini
ngalih bepandir. Bulik gin ikam, nak, ai, hari raya ini. Kasian mama ikam. Kada
lagi pang inya ma usir ikam,’* kata abah melelui telpon di hari pertama
puasa Ramadan.
Nisa sudah tak
pernah menginjakkan kaki lagi dirumah ini semenjak keinginannya untuk menikah
ditentang oleh ibu. Ibunya bersumpah tidak akan memberikan restu pernikahannya
dengan Toni sampai kapanpun. Ibu sangat tidak menyukai Toni yang masih
pengangguran namun sudah meminta Nisa untuk menikah dan ikut tinggal
bersamanya. Entah apa yang terjadi pada Nisa saat itu, dia lebih memilih Toni
dan nekat pergi meninggalkan rumah. Sejak saat itu tidak pernah ada komunikasi
yang terjalin antara Nisa dan ibunya. Hanya ayah yang kadang-kadang menelpon
sekedar untuk menanyakan kabarnya. Kedua saudara laki-lakinya sesekali
mengunjungi Nisa jika mereka sedang berada di Jakarta.
”Ma, nenek
kenapa? Nenek kok diam kayak orang bisu?” Pandu berdiri di belakang Nisa tanpa
berani mendekati neneknya.
”Nenek sakit,
sayang. Sakit stroke, jadi susah
ngomong.”
”Kenapa, Ma?”
”Nenek kena
serangan stroke. Pandu yang manis,
ya, sama nenek. Sana salim dulu tangan nenek.”
Pandu segera
mencari tangan kanan sang nenek dan menciumnya. Tanpa disangka, seketika itu
juga ibu menarik tangan Pandu dan memeluknya. Rorongan tangis tanpa irama yang
jelas keluar dari mulutnya. Didekapnya Pandu dengan pelukan yang kencang hingga
Pandu sendiri ingin melepaskan pelukan itu. Sedikitpun ibu tak melonggarkan
pelukannya. Dipeluknya Pandu sekencang-kencangnya, diiringi tangisan yang
semakin menjadi.
”Hanhu.” Hanya
itu kata yang keluar dari mulut ibu.
Nisa tak kuasa
melihat kejadian itu. Dia menelungkupkan kedua telapak tangannya menutupi
wajah, menangis dalam diam. Dari belakang, tangan ayah merangkul bahu Nisa.
Pelan, suara ayah juga terdengar terisak. Hari itu, Nisa merasa seperti ada
beban yang baru saja tercabut dari pundaknya. Perasaan lega ketika melihat
ibunya memeluk Pandu dengan erat.
’Mama, Pandu, kok, nggak punya nenek kayak
neneknya Dwi?’ Seringkali Pandu
bertanya seperti itu setiap kali melihat nenek Dwi menggendong Dwi.
*****
Pandu tertidur
pulas di tempat tidurnya. Hari ini Nisa mendapat kabar bahwa Pandu mendapat
nilai terbaik untuk pelajaran menggambar. Selembar kertas gambar dengan nilai
A+ terletak di atas dada Pandu yang sedang tidur. Nisa mengambil kertas itu dan
memperhatikan satu per satu sosok yang dia gambar. Sebuah gambar satu keluarga
besar. Pandu berdiri di tengah diapit oleh kedua orang tuanya. Di sebelah Nisa
berdiri kakek dan nenek. Pandu menggambar nenek dengan rambut keriting yang
sama persis dengan rambutnya. Selain itu gambar Rahman beserta keluarganya dan
Mahmud turut menghiasi gambaran Pandu akan sosok keluarga besar yang selalu
membuatnya iri ketika melihat teman-temannya memiliki anggota keluarga yang
lengkap. Dengan pelan dan hati-hati Nisa mengoleskan lem pada kertas itu dan menempelkannya di dinding samping ranjang
Pandu.
*’Ibu kamu terserang penyakit stroke, sekarang sulit
berbicara. Pulanglah kamu, nak, hari raya kali ini. Kasihan ibumu. Dia tidak
akan mengusirmu lagi.’
Banjarmasin, 1 Agustus 2013
0 komentar
Terima kasih untuk setiap komentar yang dimasukkan.