Untitle
Bibir mungil itu mengerucut dan menjulurkan
daging lunak berwarna merah dengan serabut putih di atasnya. Seorang pria
tertawa dengan bahu terguncang naik turun, menertawakan tingkah perempuan yang
berada di hadapannya. “Kamu Lucu,” kekehnya.
Mata perempuan itu seketika menyipit dan menatap
tajam ke arah pria itu. “Bisa tidak sehari saja dia tidak
mengganggumu? Apa perlu aku datang ke ruanganmu dan melabraknya?”
“Hahaha, diamkan saja dia. Nanti pasti dia
akan menjauh dengan sendirinya.”
Perempuan itu terdiam. Sepiring spagetti
tak lagi menarik perhatiannya sejak beberapa menit yang lalu ketika pria itu
menceritakan harinya di kantor. Garpu stainless menancap tegak lurus di tengah
tumpukan spagetti yang masih menggunung.
“Apa harus aku ungkapkan tentang hubungan
kita yang sebenarnya pada dia? Hanya pada dia saja. Dia pasti bisa tutup mulut,
kan?”
“Tunggu hingga enam bulan lagi saja. Lebih
baik kamu mulai membiasakan diri dari sekarang. Dia tidak akan cukup menggoda
ku.” Dicubitnya pipi gadis yang ada dihadapannya itu.
“Bim, Aku telat. Harusnya sudah datang
bulan sejak tiga hari yang lalu.”
“Hah? Oh, baru tiga hari, kan?”
“Tapi aku tidak merasakan kram perut
beberapa hari terakhir ini. Biasanya perutku kram seminggu sebelum datang
bulan.”
Pria itu menunduk dan memainkan es batu
dalam minuman colanya dengan sedotan. “Baguslah, berarti kita berdua subur.”
“Bukan salahku, ya. Kau sudah aku
peringatkan sejak awal.”
“Hahaha. Berarti aku sudah menjadi pria
sejati.”
“Kalau semua ini baru kita buka enam bulan
lagi, berarti perutku ini akan sangat besar saat resepsi nanti. Pasti perempuan
itu akan sangat kecewa karena pangerannya dia kira menghamili perempuan di luar
nikah. Kenapa bisa terjadi sekarang, ya? Kalau sudah terjadi seperti ini,
serapat apapun kita menutupi rahasia, pasti akan ketahuan kalau kita sudah
berbohong soal pernikahan kita.”
“Kau sudah mengatakan hal ini pada ibu ku
atau ibu mu?”
“Belum. Aku masih belum yakin juga.”
“Menurut perkiraan mu, berapa usia nya
sekarang?”
“Mana ku tahu. Bukannya kamu lebih tahu
tantang hal semacam ini.”
“Kalau ini memang benar, kita bisa terancam
batal membeli rumah karena tabungan kita akan terkuras dengan denda yang harus
kita hadapi.”
“Apa maksudmu? Di perut ku ini sedang
terkandung nyawa seorang manusia. Kau jangan asal bicara. Kita menikah secara
sah menurut agama. Anak ini anak halal, Bim. Kita hanya tidak mematuhi etika
perusahaan tentang hubungan antar karyawan ”
Bima menatap dalam ke arah perempuannya.
Diam tanpa kata.
“Biar aku saja yang mengalah. Jika perut
ini membesar nanti, maka aku lah yang akan menanggung malu jika tetap bertahan
di sini. Lagipula denda yang harus kita keluarkan bisa jauh lebih kecil. Dan
juga aku tidak ingin melihat lebih lama lagi wajah anak baru terang-terangan
mendekatimu.”
Mereka berdua memasuki lift yang turun
dalam keadaan kosong. Bima memencet tombol dua kemudian empat.
“Aku harus lembur lagi malam ini. Mungkin
baru bisa pulang di atas jam sepuluh malam.”
“Hmmm.. Tapi ingat, jangan pernah sesekali
kamu menawarkan diri untuk mengantarkan dia pulang ke rumah, ok?”
“Ok,” Jawab Bima singkat sambil mengelus
perut Perempuannya yang berdiri di samping kirinya, dari samping, dengan tangan
kanannya.
Pintu lift terbuka, perempuannya segera
beranjak keluar sambil berjalan menoleh dan melambaikan tangan ke arah Bisma.
0 komentar
Terima kasih untuk setiap komentar yang dimasukkan.