“Oke, langsung kita mulai saja,
ya. Nanti siang saya ada janji lunch dengan calon tenant baru.” Robert menarik
kursi yang berada di ujung meja, membelakangi whiteboard yang masih belum
dibersihkan dari sisa rapat yang entah kapan. “Kalian ini sudah setengah tahun
berjalan, kalau tidak ada untung, lebih baik tutup saja. Nanti lama-lama
bangkrut kalian kalau habis duit buat bayar karyawan saja.” Kalimat itu nampak
keluar dengan santai dari mulut Robert.
“Tapi, kan, sesuai pak dengan
kondisi gedung ini yang belum semua lantai diisi oleh penyewa,” Ellie membela
diri.
“Tapi dari semua tenant saya, apa
ada separuh dari mereka jadi pelanggan kamu? Harusnya itu sudah cukup dijadikan
sampel bahwa produk kalian ini kurang diminati.”
“Tidak bisa begitu, pak. Kalau
bapak mengambil para pekerja dari tenant bapak itu sebagai sampel, maka itu
sampel yang cacat. Karena mereka sama sekali tidak mewakili target pasar kami.
Kebanyakan pekerja yang berada di gedung ini, saat ini, sudah pada berumur.
Bukan anak muda yang gemar beli kopi atau nongkrong.”
“See? Kamu paham, kan, kalau kamu
tidak punya pasar di sini?”
Seketika itu syaraf di kepala
Ellie mencapai puncak ketegangannya. Kepalanya berdenyut seakan siap untuk
meledak dari dalam. Nafasnya terasa berat disusul perasaan mual yang mulai
bermunculan.
“Saya di sini berbicara mewakili
Dira, pihak gedung. Dia memang tidak ada kasih kamu investasi berbentuk uang,
tapi kalau dibandingkan kami sewakan tempat kamu itu kepada orang lain, mereka
laku atau tidak kami tetap menerima biaya sewa.”
“Tapi, bang,” Dira akhirnya
angkat bicara. “Abang kasih dulu, lah, kami waktu setahun. Anggap saja itu
jatah bagian saya dari gedung ini. Saya
dengar kemarin kata sekretaris abang, abang rapat dengan perusahaan koran dan
majalah. Kalau mereka jadi masuk ke sini, mereka bisa membawa lumayan banyak
pekerja usia muda.”
Robert terdiam. Ellie mulai
mendapatkan titik temu kebingungannya akan tujuan rapat pagi ini. Robert
menyimpan sesuatu, dia punya agenda lain yang ingin dilakukannya sendiri.
“Ellie, kamu mungkin harus
memikirkan inovasi baru. Buka kafe sungguhan saja. Kafe yang normal-normal
saja, enggak usah pakai cangkir yang macam-macam begini.” Robert
menarik cangkir kopi berwarna merah muda yang berada di hadapan Ellie. “Ouch…”
Robert reflek melepaskan pengangan tangannya pada cangkir kopi itu.
“Kamu bikin kopi panas mendidih,
ya?”
Ellie dan Andrew saling pandang.
Ellie memang membawa sendiri kopi buatannya di cangkir berwarna merah muda itu.
Dia membuatnya di kedai kopi sebelum pergi ke ruang rapat ini, dengan suhu yang
sedikit lebih hangat. Tapi dengan jarak kedatangan Ellie dan Robert ke sini
yang menghabiskan waktu selama setengah jam, dan dengan kondisi ruangan ber-AC,
mustahil cangkir itu masih panas. Dan selama di ruangan ini, Andrew beberapa
kali ikut menyeruput kopi itu.
“Enggak, kok, pak. Kopi ini saya
bikin sebelum datang ke sini.” Sigap Ellie menarik cangkirnya. Kulit tangannya
hanya merasakan dinginnya sebuah cangkir porselin di ruang ber-AC.
“Dasar manusia serakah,”
gerutu Elona. Cangkir merah muda bermotif hati yang berbicara di dunianya sendiri.
#30DWC #30DWCJilid19 #Day2
0 komentar
Terima kasih untuk setiap komentar yang dimasukkan.